JAKARTA, HarianTerbaruPapua.com – Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Gubernur Papua dalam Perkara Nomor 328/PHPU.GUB-XXIII/2025 yang diajukan oleh Pasangan Calon (Paslon) Nomor Urut 1, Benhur Tomi Mano-Constant Karma.
“Amar Putusan, mengadili dalam eksepsi, menolak eksepsi Termohon dan Pihak Terkait untuk seluruhnya. Dalam pokok pemohon, menolak Permohonan untuk seluruhnya,” demikian pembacaan putusan PHPU Gubernur Papua dalam sidang yang digelar di gedung MK, Jakarta, Rabu (17/9/2025).
Sebelumnya, Pasangan Calon (Paslon) Gubernur dan Wakil Gubernur Papua Nomor Urut 1 Benhur Tomi Mano-Constant Karma mengajukan permohonan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) pasca-Pemungutan Suara Ulang (PSU) Pemilihan Gubernur (Pilgub) Papua sebagaimana Putusan MK Nomor 304/PHPU.GUB-XXIII/2025.
Hakim Konstitusi, Ridwan Mansyur menyatakan bahwa mahkamah menilai Pemohon salah memahami perbedaan antara data pemilih DPT dan pengguna hak pilih DPT, yang menyebabkan ketidaksesuaian data yang diajukan oleh Pemohon.
Mahkamah juga menegaskan bahwa tidak ada bukti yang mendukung klaim Pemohon tentang tingkat partisipasi yang melebihi 100 persen DPT. “Dengan demikian, dalil Pemohon tidak beralasan menurut hukum,” tegas Ridwan.
Pemohon sebelumnya mengklaim adanya anomali data pemilih yang diduga dimanipulasi oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi Papua dan KPU Kabupaten/Kota, serta Panitia Pemilihan Distrik (PPD), yang dinilai menguntungkan Paslon Nomor Urut 2, Matius Fakhiri-Aryoko Alberto Ferdinand Rumaropen.
Namun, KPU Papua menyatakan bahwa Pemohon tidak memperhatikan penurunan jumlah pemilih dalam PSU sebanyak 24.607 pemilih, yang dinilai wajar, mengingat berkurangnya jumlah pemilih dalam DPK. KPU juga menegaskan bahwa pencermatan terhadap alih status pemilih menjadi TNI/Polri dilakukan secara transparan dan melibatkan pemangku kepentingan.
Mahkamah menyatakan, hak memilih adalah hak konstitusional warga negara, dan tidak ada pihak yang dapat memaksa pemilih untuk memberikan suara atau tidak. “Menggunakan hak pilih atau tidak menggunakan hak pilih adalah hak konstitusional warga negara, bukan merupakan kewajiban konstitusional,” ujar Ridwan.
Adapun mengenai dugaan perubahan perolehan suara, Pemohon mengajukan klaim adanya pengurangan atau penambahan suara di 30 TPS yang tersebar di 10 distrik di lima kabupaten Papua.
Namun, Mahkamah menilai bahwa Pemohon tidak menguraikan perubahan suara tersebut secara komprehensif, termasuk tidak menjelaskan siapa yang melakukan perubahan, kapan terjadinya, dan apakah Pemohon sudah melaporkan masalah tersebut ke Bawaslu.
(Redaksi – Harian Terbaru Papua)